Advertisement
![]() |
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro saat mengikuti Rapat Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4) |
JAKARTA,TRENDSUARA.com-Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, kemacetan dan banjir menjadi salah satu faktor pertimbangan pemerintah untuk memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke luar Pulau Jawa.
Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, sejak tahun 2013 persoalan kemacetan di Jakarta menyedot dana sekitar Rp 65 triliun setiap tahunnya, dan sekarang jumlah itu membengkak hingga mendekati Rp 100 triliun. “Selain masalah kemacetan, masalah yang harus kita perhatikan di Jakarta adalah banjir,” kata Bambang Brodjonegoro di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Bambang Brodjonegoro mengatakan, banjir yang melanda Jakarta tidak berasal dari hulu, tapi juga penurunan tanah di Pantai Utara dan kenaikan permukaan air laut, di mana 50 persen wilayah Jakarta termasuk kategori rawan banjir atau memiliki tingkat di bawah 10 tahunan. “Idealnya, kota besar keamanan banjirnya minimum 50 tahunan,” jelas Bambang Brodjonegoro.
Disebutkan, penurunan permukaan air tanah di Pantai Utara rata rata 7,5 centimeter per tahun dan tanah turun sudah sampai 60 cm selama kurun waktu 1989 hingga 2007. Penurunan tanah, lanjutnya, akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah dan kenaikan air laut naik rata-rata 4-6 cm akibat perubahan iklim. Ditambah lagi kualitas air sungai tidak hanya di Jakarta tapi khusus di Jakarta, di mana 96 persen air sungai di Jakarta tercemar berat, sehingga memiliki bahaya signifikan akibat sanitasi yang buruk.
“Karena itu, dalam kajian ini kami mengusulkan pemikiran mengenai ibu kota baru yang mempresentasikan identitas bangsa,” kata Bambang Brodjonegoro.
Menurut Bambang Brodjonegoro, Kota Jakarta sekarang seperti dalam sejarah berasal dari Batavia, yang dibangun oleh VOC sebagai kota pelabuhan untuk perdagangan dan dikembangkan menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. “Kita ingin mempunyai kota baru, selain mencerminkan identitas Indonesia juga menjadi kota modern, berkelas internasional atau dengan istilah smart, green, and beautiful city,” kata Bambang Brodjonegoro.
Konsep itu, lanjutnya, sudah diterapkan di sejumlah kota besar dunia seperti Washington DC (Amerika Serikat), Brasilia (Brasil), Canberra (Australia), Putra Jaya (Malaysia), dan Sehjong di Korea Selatan. Indonesia, sebagai negara anggota G20 dan negara punya potensi kelima terbesar di dunia untuk GDP per kapita, Indonesia tentu perlu ibu kota yang berstandar internasional.
“Nah, usulan kami untuk ibu kota yang diposisikan adalah hanya fungsi pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian lembaga, legislatif, parlemen MPR/DPR/ DPD,” kata Bambang Brodjonegoro.
Selain itu, ibu kota pemerintahan yang baru juga terdapat kantor yudikatif seperti Kehakiman, Kejaksaan, Mahkamah Konstitusi, dan lainnya seperti TNI/ Polri, kedutaan besar, dan perwakilan organisasi internasional. “Fungsi jasa keuangan, perdagangan, dan industri tetap di Jakarta. Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, BKPM tetap di Jakarta. Ini konsep yang coba kita tiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan negara lain,” kata Bambang Brodjonegoro.
(Red)